Rabu, 05 November 2014

Tetes Air Hujan


Siang ini mendung tampak menutupi senyum mentari yang bagiku menawan. Daun- daun berguguran menutup tas coklatku yang aku taruh dikeranjang sepedaku. Aku mengayuh sepedaku diantara rimbunnya pepohonan pinus yang indah. Memacu sepeda diantara sejuknya pegunungan di desaku. Memacu sepeda dengan pandangan lurus yang membuat perasaanku gundah. Aku sendiri, benar-benar sendiri. Tak ada siapapun yang menemani dalam gelisah rasa sedihku. Tak ada teman, tak ada sahabat, tak ada orang yang aku sayangi disampingku. Ayah pun seraya tak mau untuk menemaniku didunia ini. Aku kangen Nanta, temanku ketika kecil. Aku terus menyusuri jalanan desa ini dengan kesedihanku. Tak terasa setetes air mata mengalir dipipiku. “Anda..” Triakan suara itu membuyarkan lamunanku dan menghentikan tetesan air mataku. Aku menoleh kebelakang. Rasanya aku mengenal wajah Laki-laki paruh baya itu. Dia mirip dengan wajahku. “Apa itu ayahku?” Gumamku dalam hati, karena ayah pergi ke rantauan sejak aku berumur 3 tahun. Aku berhenti untuk menunggu laki-laki itu. Aku memerhatikan langkah orang itu. Terlihat tergesa-gesa tetapi jelas akan iramanya. Dia semakin mendekat. “Ini ayahmu nak. Rupanya kau sudah remaja.” Ucap laki-laki itu dengan senyum sumringahnya. “Ayahku? Darimana anda tau kalau saya ini anak anda?” Tanyaku heran, tapi aku yakin bahwa dia adalah ayahku. Aku nyaman berada di dekat dia. Kami terus mengobrol dan berjalan menuju rumah nenek. Belum sampai dirumah nenek, aku dan laki-laki itu bertemu nenekku di sawah. Nenek sedang menanam padi. “Adi, kapan datang nak? Ibu sudah lama menunggu.” Ucap nenekku dan segera menghentikan kegiatannya. Mereka berdua larut dalam obrolan sampai tak menghiraukan aku yang berada disampingnya. Dan benar laki-laki itu adalah ayahku. Aku senang sekali.
Sekitar 2 bulan ini aku menjalani hidup lebih semangat, karena ada ayah dan nenek yang menemaniku. Tapi berbeda saat di sekolah, aku tak punya teman. Apalagi sahabat. Sampai ada anak baru yang masuk di kelasku kemungkinan akan merubah segalanya. “Gue Fatah. Muhammad Al-Fatah Redian Nantara. Gue pindahan dari Jakarta. Gue pindah ke Yogyakarta ikut bokap gue.” Perkenalan yang singkat, tapi membuatku mengerti akan sikap dia. Dia terpaksa pindah ke Yogyakarta. “Cukup. Fatah kamu duduk disebelah Anda ya” Fatah berjalan menuju bangku. Di sebelahku tepatnya. Dia tersenyum padaku, mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan. “Namaku Lananda Hanifah Taradibta salam kenal ya.” Aku tersenyum, senang rasanya. Dan aku tidak berbohong kalau dia memang manis saat tersenyum. Dan sekarang aku punya teman sebangku. Dia ternyata baik, berbeda dengan anak metropolitan biasanya. Bel pulang sudah terdengar. Aku merapikan semua bukuku dan aku segera bergegas menuju parkir sekolah. Sepeda biruku terparkir diantara motor-motor yang lain. Lagi-lagi aku mengayuh sepedaku. Melewati rimbunnya pohon pinus yang menjulang tinggi. Inilah rute yang aku lewati tiap hari. Sebenarnya ada angkutan yang mengantarkanku ke sekolah lebih cepat, tapi aku memilih untuk mengayuh sepeda saja. Lebih murah dan sehat. “yah, kempes. Mana nggak ada orang lagi” Gerutuku pada sepeda biru ini. Ban sepedaku kempes karena melindas paku. Orang yang sedang menyadap pohon pinus sedang beristirahat. Jadi jalanan ini sepi. “Lananda, kok berhenti disini?” Fatah kali ini berdiri disampingku. Dia memakai jaket abu-abunya. “Keren...” Tanpa sadar aku mengeluarkan desahan yang mungkin Fatah mendengarnya. “Apa yang keren?” Dia bertanya padaku dengan sorot mata yang curiga. Aku sadar itu. Bola mata hitamnya terus menatapku. Aku masih diam “Ehmmmm, Lupakan. Kok kamu lewat sini?” Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku segera mengalihkan perhatiannya. Dan 100% Sukses. “Selamat Lananda, kamu berhasil.” Gumamku dalam hati. “Rumahku diujung sana. Kalo kamu?” Dia ganti bertanya. “Sama,” Jawabku singkat. Suara gemuruh. Pertanda hujan. Dan dugaan tepat, tetes air hujan membasahi aku dan Fatah. “Nih, Nan. Pakai jaketku. Nanti kamu sakit” Dia memakaikan jaket abu-abunya dipundakku. Aku tak bisa menolak, aku merasa nyaman dengan jaket ini, aku merasa nyaman saat bersama Fatah meskipun baru kenal. Aku menelepon ayah. Tapi tak kunjung diangkat. Aku baru ingat, ayah bersama nenek pergi ke Solo. “ Gimana Nan, ujannya keburu deres. Nanti kamu sakit. Aku anter aja ya. Sepedanya dititipin ke rumah depan sana aja.” Fatah terus menutupi kepalaku dengan tasnya. Dia tak mempedulikan dirinya yang basah kunyup.”Nggak usah, nanti ngrepotin kamu. Kamu pulang dulu aja” Aku menolak ajakan Fatah, tapi dalam aku sebenarnya aku mengiyakan. “Aku nggak mau teman sebangkuku sakit. Ayo naik.” Dia menarikku pelan untuk naik ke motornya. Tdia juga sudah menitipkan sepedaku dirumah itu.
          Sekitar 10 menit perjalanan, aku dan Fatah sampai didepan rumahku. Tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada fatah. “Fatah, makasih ya...” Fatah yang akan memacukan sepeda motornya berhenti. “Iya Lananda Hanifah Taradibta. Sama-sama. Besuk aku jemput. Oke” Dan Fatah pergi. Tapi aku, masing berdiri mematung bersama tetesan air hujan. Dia hafal nama panjangku. Aku tersipu malu. Aku masuk rumah yang pintu baru aku buka. Aku segera mandi dan belajar. Aku tak mungkin lupa belajar, aku sadar aku hanya anak desa di Yogyakarta yang Bundanya telah di surga. Aku harus giat belajar untuk membanggakan Ayah, nenek dan tentunya Bunda di surga. Aku janji akan hal itu. Dan aku harus jadi Dr. Lananda Hanifah Taradibta. Itulah ambisi saat ini. Tapi sebelum belajar, Fatah masuk dalam lamunanku. “ Apa ini perasaan jatuh cinta? Apa mungkin terjadi. Fatah. Muhammad Al-Fatah Redian Nantara. Memang dia baik, ganteng pula. Mungkin aku jatuh cinta padanya?” Aku mendengus pelan. Tapi saat itu, darah mengucur dari hidungku. Aku panik. Aku pikir hanya mimisan biasa. Aku segera mengelap darah itu dan mambasuh wajahku dengan air wudhu. Aku pikir darah yang mengucur berhenti, tapi salah. Masih terus mengucur. Aku semakin panik. Kali ini bukan mimisan, beda. Darah yang mengucur masih merah segar. Dan, aku lemas. Badanku semakin berat untuk berdiri. Tak kurasa aku tergeletak di depan pintu kamar. Saat aku tersadar, aku sudah berada dikasurku. “Lananda, kamu sudah sadar?” Suara itu, aku yakin pasti Fatah. Aku beranjak dari tidurku dan menoleh ke suara itu. “Fatah? Bagaimana kamu bisa disini?” Aku sadar itu, itu suara Fatah. Tapi aku heran bagaimana dia bisa masuk kerumahku. “Aku kesini mau pinjam buku. Tapi pintunya kebuka aku liat kamu tergeletak di depan pintu. Kamu sakit apa sih?” Fatah duduk disampingku yang masih terbaring lemas. Kami terus mengobrol seperti kita sudah kenal sejak kecil. Aku merasa ada yang beda dari Fatah. Aku seperti mengenal dia. Dan obrolan kami berhenti ketika adzan maghrib berkumandang. Ayah dan nenekku juga sudah sampai rumah. “Fatah, jangan cerita soal ini ya.” Pintaku pada Fatah. Fatah pun mengiyakan keinginanku. Dan dia segera berpamitan kepada ayah dan Nenek. Setelah Fatah pergi aku tertidur pulas.
          Adzan subuh berkumandang aku segera mengambil air wudlu. Setelah aku memanjatkan doa aku bergegas mengantar nenek ke pasar. Gerimis, ya tetes air hujan lagi-lagi turun. Menggantikan sang fajar, tapi tetap memberi keindahan pada pagi ini. “nek hati-hati ya...” Ucapku pada nenek. Tugas pertama selesai. Dan sekarang sekolah. Tak lupa aku mengambil sepedaku di rumah itu. Belum sampai di depan rumah motor Fatah sudah terparkir di depanku. Tapi lagi-lagi darah itu mengucur dari hidungku. Aku panik, darah itu mengenai jaket abu-abu Fatah yang aku sampirkan di lengan dengan maksud akan ku kembalikan di sekolah. “Fatah maaf, nanti jaketmu pasti akan aku cuci. Maaf ya.” Fatah tidak menjawab. Aku segera mengelap darah itu dari pipiku. Fatah terlihat sedih. Apa yang ada dipikirannya? Aku tak tau. Dia memandangku dengan perasaan iba. “Nanda, kamu tak apa?” Fatah segera membantuku membersihkan darahku. “Panggil aku Anda aja Fat.” Aku membenarkan namaku. “tapi itu kan nama panggilanmu dari teman kecilmu.” Dia mengalihkan pandangannya. Aku tak bisa menjawab aku hanya diam.
          Aku menjalani hidup ini dengan darah yang setiap hari mengucur dari hidungku. Ayahku sangat panik dengan hal ini, tapi aku menyakinkan kalau aku baik-baik saja. “Ayah tenang saja ya. Anda baik aja kok. Mungkin ini kecapekan.” Aku duduk disamping ayah yang sedang menatap pelangi di ujung langit. “Besuk kita kerumah sakit saja. Sekedar periksa sayang.” Ayah menjawabku sambil mengelus rambut hitam legamku. “Iya ayah” Jawabku singkat. “kamu masuk, udara dingin bisa membuat kamu sakit.”
Keesokan paginya aku dan ayah bergegas menuju rumah sakit. “Oom, aku boleh ikut mengantar teman kecilku?” Seru fatah yang berlari mengikuti langkahku dan Ayah. “Fatah ya? Iya nggak papa.” Ayah berhenti untuk menunggui Fatah. Tapi aku bingung, yang dimaksud teman kecil itu. Dari dulu aku memikirkan ucapan Fatah dari mulai memanggilku Nanda, dan sekarang teman kecilnya. Ayah menyetir mobil dan nenek di samping ayah. Sedangkan aku duduk di samping Fatah yang sangat perhatian padaku. Rimbunnya pohon pinus membuat hatiku nyaman. Aku seperti akan merasakan hal ini terakhir kali. Fatah memandangku sambil tersenyum. “Kau ingat Nanta, teman kecilmu dulu?” Pertanyaan Fatah membuat dadaku sesak, setetes air mata jatuh dipipiku. Semakin deras air mataku. “Nanda, kamu menangis. Kenapa?” Fatah merasa bersalah. Tapi aku diam, diam seribu bahasa. Tapi air mataku seakan memberi jawaban pada Fatah. Dan Fatah diam. Aku dan Fatah hanya diam sampai di rumah sakit. Kami berempat turun dan memasuki lobi rumah sakit. Tubuhku lemas, darah kembali mengucur dari hidungku. “Ya allah, jika ini takdirku aku ikhlas menerima. Tapi jangan buat Ayah, nenek bersedih. Juga jangan buat Fatah menangis karena hal ini Ya allah. Mereka penting bagiku.” Itulah doa yang selalu ku panjatkan ketika aku merasa rasa sakit ini tak kuat aku tanggung. Dokter mendiagnosa kalau aku terkena penyakit ataksia stadium 4, penyakit yang menyerang sum-sum tulang belakangku. Ayah keluar dari ruang dokter dengan langkah gontai. Nenek yang duduk di samping meneteskan air mata. Fatah, wajahnya pucat, dia hanya diam seribu bahasa. Kami semua belum pulang, masih menunggu keputusan dokter. “saya izin ke musholla dulu” Fatah pergi meninggalkan kami semua. Dia mengambil air wudhu, melaksanakan sholat ashar dan memanjatkan doa. Tanpa sepengetahuan dia aku memasuki musholla. Air mata mengucur dari mata hitamnya. “Ya allah, jangan ambil Nanda. Aku sayang dia, aku juga belum menepati janji ketika kami kecil untuk selalu ada disampingnya, menghapus air mata tetes air mata dari pipinya. Aku belum lakukan semua itu ya Allah. Aku malah pergi meninggalkannya. Jangan sakiti dia dengan sakit ini ya Allah. Aku mohon” Doa itu terdengar tulus dari Fatah. Air mataku menetes, terus menetes. Fatah menoleh padaku karena mendengar isakanku. “nanda, kenapa kamu menangis?” Fatah mendekatiku dan menghapus air mataku dengan lembut. Tapi air mataku tetap jatuh. Fatah, dia teman kecilku. Teman yang dulu ada ketika aku kecil, dan sekarang dia kembali. “Nanda, iya aku teman kecil kamu. Aku Nanta. Maaf aku baru ngomong sekarang. Tapi aku janji mulai sekarang aku akan menjadi tetes air hujan yang selalu membuatmu tersenyum” Fatah mengulurkan tangannya untuk mengajakku kembali.
         

          Kami pulang, 1 minggu lagi aku disuruh datang untuk melakukan Check-up. 1 hari berlalu setelah kejadian itu. Saat pulang dari sekolah aku melihat ayah duduk di teras rumah memandang rintik air hujan. Ayah meneteskan air mata. Aku melangkah untuk menyapa ayah, tapi wajahku pucat. Rasa sakitku tak kuat aku menahannya. Aku pingsan. Ayah segera menggendongku masuk kedalam rumah. Saat aku tersadar, ayah menyuruhku untuk minum obat dari dokter. Iya, aku meminumnya. “Ayah, besuk aku mau izin pergi.” Pintaku pada ayah setelah minum obat. “Kemana sayang? Ayah antar ya?” Ayahku bertanya heran. “Enggak usah Yah. Nanti lama kok. Boleh ya?” Aku tersenyum menatap ayah. “Iya sayang, tapi cepat pulang ya? Aku mengelus rambutku. “Maaf ayah.” Seruku dalam hati.
          Keesokan harinya, aku duduk diteras rumah setelash mengelap sepedaku. “Ayah, aku mau pergi. Jaga nenek ya yah” Pamitku pada Ayah. Tapi Fatah datang. “Nanda, kamu sakit mau kemana? Aku anter aja.” Aku memandang Fatah sambil tersenyum. “Iya, nggak ngrepotin. Aku akan pergi lama Fatah.” Jawabku. “Maksudnya. Anter aku dulu” Fatah menurut. Aku duduk dimotor Fatah, dan aku mengenakan jaket abu-abu milik Fatah. Senang rasanya. “Stop. Kamu disini aja ya.”Aku meninggalkan Fatah dengan tampang bingung.
Aku memasuki pelataran makam. “Bunda, Nanda kangen banget sama Bunda. Bund, itu Nanta tapi sekarang Fatah. Iya, temen kecilku dulu. Bunda inget kan?” belum selesai aku bicara Fatah memperhatikanku dari belakang. “Nanda? Kamu nggak papa kan?” Fatah tampak khawatir. Aku tak menjawab, aku meneruskan percakapannku dengan Bunda. “Bunda, boleh nggak Nanda ikut bunda sekarang. Aku capek nglawan rasa sakit ini. Aku pengen sama Bunda. Rasanya aku pengen nyudahin rasa sakit ini. Nggak papa ya?” Aku seakan merasakan bunda tersenyum padaku. “beneran Bunda. Iya deh, Nanda nggak bakal bikin Ayah sedih saat Nanda pergi. Bunda tenang aja.” Aku diam menatap Fatah yang memperhatikanku. “Pulang yuk, nanti sakit kamu kambuh. Lagian udah mau hujan.” Fatah mengajakku pulang. “Fat, aku boleh minta nggak?” Jawabku sambil berjalan disamping Fatah. “Boleh, apa?” Suara Fatah. Ah, suara itu membuat hatiku nyaman. “Aku ingin bersamamu dibawah tetes air hujan disaat terakhirku. Mau kamu mengabulkan?” Pertanyaanku membuat Fatah meneteskan air mata. “Jika aku bisa pasti kulakukan.” Jawab Fatah dengan suara melemah.
          Hujanpun turun membasahi tubuhku. Lagi-lagi darah itu mengucur dari hidungku. “Fatah, mungkin ini saat terakhirku. Makasih kamu udah ada disampingku. Kamu jangan sedih ya. Oh iya, aku titip sesuatu dilaci kamar buat ayah. Aku juga punya sesuatu buat Kamu.” Aku terbaring dilengan Fatah. Air mata Fatah menetes dipipiku. “Aku nggak sedih Nan, yang penting kamu udah nggak ngrasain rasa sakit ini lagi. Nan, aku sayang kamu sampai kapanpun.” Aku pergi meninggalkan dunia ini di samping Fatah. Ditemani tetes air hujan yang indah. Aku senang. Aku bahagia bisa mengenal Ayah, nenek dan pastinya Fatah. Aku senang bisa di samping bunda sekarang.

Setelah pemakaman....
Fatah memasuki kamarku dan mengambil titipanku untuk ayah dan dirinya.
Untuk Ayah...
Ayah, mungkin Saat membaca surat ini ayah udah nggak bisa ketemu Nanda Lagi. Maaf ya Yah. Nanda belum bisa banggain ayah, Nenek, Bunda. Nanda Cuma bisa nyusahin aja. Maaf banget. Oh, iya Nanda punya puisi buat ayah...

Ayah, engkau ada
Engkau ada disaatku menangis
Disaat aku merasakan sakit ini
Sakit yang aku rasakan
Aku sedih ayah,
Aku tak kuat menahan sakit ini
Aku akan pergi jauh ayah
Tapi, ayah jangan sedih
Aku selalu ada disamping ayah...
                                                            Lananda Hanifah Taradibta sayang Ayah....







Fatah memandangi kotak merah itu. Mengambil surat yang telah aku tulis. Dia membasahi surat itu dengan air matanya.

Fatah, kamu tak perlu menangis untukku. Simpen air matamu ya. Aku jadi inget saat kamu masuk dikelasku dan akhirnya kita duduk sebangku terus aku juga inget saat kamu makein jaket kamu. Aku masih nyimpen lho jaket itu. Coba lihat dilemariku. Maaf ya, jaketmu kena air mataku. Hehee.... Oh iyaa, aku mau jujur kalau aku itu sayang kamu. Tapi telat ya, mungkin aku udah nggak ada. Fatah, aku ngucapin trima kasih, karena kamu mau jadi tetes air hujan dalam hidup. Aku bahagia banget bisa kenal kamu. Makasih juga ya, kamu udah mau hapus air mataku. Kamu mau janji buat aku nggak? Kamu jangan nangis buat aku, aku disini bahagia banget. Tapi aku mohon kamu jangan lupain aku. Soalnya kamu itu penting banget buat aku. Udah dulu ya...Tetep jadi tetes air hujan buat aku ya Fat. Aku sayang kamu
                                                                        Nanda
Ayah memandangi fatah yang meneteskan air mata untukku. “Iya Oom, jujur saya sayang sama Nanda lebih dari teman kecil.” Kata Fatah sambil memandangi foto kami berdua saat di sekolah.



@@@ Tamat @@@