Siang ini mendung tampak menutupi
senyum mentari yang bagiku menawan. Daun- daun berguguran menutup tas coklatku
yang aku taruh dikeranjang sepedaku. Aku mengayuh sepedaku diantara rimbunnya
pepohonan pinus yang indah. Memacu sepeda diantara sejuknya pegunungan di
desaku. Memacu sepeda dengan pandangan lurus yang membuat perasaanku gundah.
Aku sendiri, benar-benar sendiri. Tak ada siapapun yang menemani dalam gelisah
rasa sedihku. Tak ada teman, tak ada sahabat, tak ada orang yang aku sayangi
disampingku. Ayah pun seraya tak mau untuk menemaniku didunia ini. Aku kangen
Nanta, temanku ketika kecil. Aku terus menyusuri jalanan desa ini dengan
kesedihanku. Tak terasa setetes air mata mengalir dipipiku. “Anda..” Triakan
suara itu membuyarkan lamunanku dan menghentikan tetesan air mataku. Aku
menoleh kebelakang. Rasanya aku mengenal wajah Laki-laki paruh baya itu. Dia
mirip dengan wajahku. “Apa itu ayahku?” Gumamku dalam hati, karena ayah pergi
ke rantauan sejak aku berumur 3 tahun. Aku berhenti untuk menunggu laki-laki
itu. Aku memerhatikan langkah orang itu. Terlihat tergesa-gesa tetapi jelas
akan iramanya. Dia semakin mendekat. “Ini ayahmu nak. Rupanya kau sudah
remaja.” Ucap laki-laki itu dengan senyum sumringahnya. “Ayahku? Darimana anda
tau kalau saya ini anak anda?” Tanyaku heran, tapi aku yakin bahwa dia adalah
ayahku. Aku nyaman berada di dekat dia. Kami terus mengobrol dan berjalan
menuju rumah nenek. Belum sampai dirumah nenek, aku dan laki-laki itu bertemu
nenekku di sawah. Nenek sedang menanam padi. “Adi, kapan datang nak? Ibu sudah
lama menunggu.” Ucap nenekku dan segera menghentikan kegiatannya. Mereka berdua
larut dalam obrolan sampai tak menghiraukan aku yang berada disampingnya. Dan
benar laki-laki itu adalah ayahku. Aku senang sekali.
Sekitar 2 bulan ini aku menjalani
hidup lebih semangat, karena ada ayah dan nenek yang menemaniku. Tapi berbeda
saat di sekolah, aku tak punya teman. Apalagi sahabat. Sampai ada anak baru
yang masuk di kelasku kemungkinan akan merubah segalanya. “Gue Fatah. Muhammad
Al-Fatah Redian Nantara. Gue pindahan dari Jakarta. Gue pindah ke Yogyakarta
ikut bokap gue.” Perkenalan yang singkat, tapi membuatku mengerti akan sikap
dia. Dia terpaksa pindah ke Yogyakarta. “Cukup. Fatah kamu duduk disebelah Anda
ya” Fatah berjalan menuju bangku. Di sebelahku tepatnya. Dia tersenyum padaku,
mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan. “Namaku Lananda Hanifah Taradibta
salam kenal ya.” Aku tersenyum, senang rasanya. Dan aku tidak berbohong kalau
dia memang manis saat tersenyum. Dan sekarang aku punya teman sebangku. Dia
ternyata baik, berbeda dengan anak metropolitan biasanya. Bel pulang sudah
terdengar. Aku merapikan semua bukuku dan aku segera bergegas menuju parkir
sekolah. Sepeda biruku terparkir diantara motor-motor yang lain. Lagi-lagi aku
mengayuh sepedaku. Melewati rimbunnya pohon pinus yang menjulang tinggi. Inilah
rute yang aku lewati tiap hari. Sebenarnya ada angkutan yang mengantarkanku ke
sekolah lebih cepat, tapi aku memilih untuk mengayuh sepeda saja. Lebih murah
dan sehat. “yah, kempes. Mana nggak ada orang lagi” Gerutuku pada sepeda biru
ini. Ban sepedaku kempes karena melindas paku. Orang yang sedang menyadap pohon
pinus sedang beristirahat. Jadi jalanan ini sepi. “Lananda, kok berhenti
disini?” Fatah kali ini berdiri disampingku. Dia memakai jaket abu-abunya.
“Keren...” Tanpa sadar aku mengeluarkan desahan yang mungkin Fatah
mendengarnya. “Apa yang keren?” Dia bertanya padaku dengan sorot mata yang
curiga. Aku sadar itu. Bola mata hitamnya terus menatapku. Aku masih diam
“Ehmmmm, Lupakan. Kok kamu lewat sini?” Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku
segera mengalihkan perhatiannya. Dan 100% Sukses. “Selamat Lananda, kamu
berhasil.” Gumamku dalam hati. “Rumahku diujung sana. Kalo kamu?” Dia ganti
bertanya. “Sama,” Jawabku singkat. Suara gemuruh. Pertanda hujan. Dan dugaan
tepat, tetes air hujan membasahi aku dan Fatah. “Nih, Nan. Pakai jaketku. Nanti
kamu sakit” Dia memakaikan
jaket abu-abunya dipundakku. Aku tak bisa menolak, aku merasa nyaman dengan
jaket ini, aku merasa nyaman saat bersama Fatah meskipun baru kenal. Aku
menelepon ayah. Tapi tak kunjung diangkat. Aku baru ingat, ayah bersama nenek
pergi ke Solo. “ Gimana Nan, ujannya keburu deres. Nanti kamu sakit. Aku anter
aja ya. Sepedanya dititipin ke rumah depan sana aja.” Fatah terus menutupi
kepalaku dengan tasnya. Dia tak mempedulikan dirinya yang basah kunyup.”Nggak
usah, nanti ngrepotin kamu. Kamu pulang dulu aja” Aku menolak ajakan Fatah,
tapi dalam aku sebenarnya aku mengiyakan. “Aku nggak mau teman sebangkuku
sakit. Ayo naik.” Dia menarikku pelan untuk naik ke motornya. Tdia juga sudah
menitipkan sepedaku dirumah itu.
Sekitar
10 menit perjalanan, aku dan Fatah sampai didepan rumahku. Tak lupa aku
mengucapkan terima kasih kepada fatah. “Fatah, makasih ya...” Fatah yang akan
memacukan sepeda motornya berhenti. “Iya Lananda Hanifah Taradibta. Sama-sama.
Besuk aku jemput. Oke” Dan Fatah pergi. Tapi aku, masing berdiri mematung
bersama tetesan air hujan. Dia hafal nama panjangku. Aku tersipu malu. Aku masuk
rumah yang pintu baru aku buka. Aku segera mandi dan belajar. Aku tak mungkin
lupa belajar, aku sadar aku hanya anak desa di Yogyakarta yang Bundanya telah
di surga. Aku harus giat belajar untuk membanggakan Ayah, nenek dan tentunya
Bunda di surga. Aku janji akan hal itu. Dan aku harus jadi Dr. Lananda Hanifah
Taradibta. Itulah ambisi saat ini. Tapi sebelum belajar, Fatah masuk dalam
lamunanku. “ Apa ini perasaan jatuh cinta? Apa mungkin terjadi. Fatah. Muhammad
Al-Fatah Redian Nantara. Memang dia baik, ganteng pula. Mungkin aku jatuh cinta
padanya?” Aku mendengus pelan. Tapi saat itu, darah mengucur dari hidungku. Aku
panik. Aku pikir hanya mimisan biasa. Aku segera mengelap darah itu dan
mambasuh wajahku dengan air wudhu. Aku pikir darah yang mengucur berhenti, tapi
salah. Masih terus mengucur. Aku semakin panik. Kali ini bukan mimisan, beda.
Darah yang mengucur masih merah segar. Dan, aku lemas. Badanku semakin berat
untuk berdiri. Tak kurasa aku tergeletak di depan pintu kamar. Saat aku
tersadar, aku sudah berada dikasurku. “Lananda, kamu sudah sadar?” Suara itu,
aku yakin pasti Fatah. Aku beranjak dari tidurku dan menoleh ke suara itu.
“Fatah? Bagaimana kamu bisa disini?” Aku sadar itu, itu suara Fatah. Tapi aku
heran bagaimana dia bisa masuk kerumahku. “Aku kesini mau pinjam buku. Tapi
pintunya kebuka aku liat kamu tergeletak di depan pintu. Kamu sakit apa sih?”
Fatah duduk disampingku yang masih terbaring lemas. Kami terus mengobrol
seperti kita sudah kenal sejak kecil. Aku merasa ada yang beda dari Fatah. Aku
seperti mengenal dia. Dan obrolan kami berhenti ketika adzan maghrib
berkumandang. Ayah dan nenekku juga sudah sampai rumah. “Fatah, jangan cerita
soal ini ya.” Pintaku pada Fatah. Fatah pun mengiyakan keinginanku. Dan dia
segera berpamitan kepada ayah dan Nenek. Setelah Fatah pergi aku tertidur
pulas.
Adzan
subuh berkumandang aku segera mengambil air wudlu. Setelah aku memanjatkan doa
aku bergegas mengantar nenek ke pasar. Gerimis, ya tetes air hujan lagi-lagi
turun. Menggantikan sang fajar, tapi tetap memberi keindahan pada pagi ini.
“nek hati-hati ya...” Ucapku pada nenek. Tugas pertama selesai. Dan sekarang
sekolah. Tak lupa aku mengambil sepedaku di rumah itu. Belum sampai di depan
rumah motor Fatah sudah terparkir di depanku. Tapi lagi-lagi darah itu mengucur
dari hidungku. Aku panik, darah itu mengenai jaket abu-abu Fatah yang aku
sampirkan di lengan dengan maksud akan ku kembalikan di sekolah. “Fatah maaf,
nanti jaketmu pasti akan aku cuci. Maaf ya.” Fatah tidak menjawab. Aku segera
mengelap darah itu dari pipiku. Fatah terlihat sedih. Apa yang ada
dipikirannya? Aku tak tau. Dia memandangku dengan perasaan iba. “Nanda, kamu
tak apa?” Fatah segera membantuku membersihkan darahku. “Panggil aku Anda aja
Fat.” Aku membenarkan namaku. “tapi itu kan nama panggilanmu dari teman
kecilmu.” Dia mengalihkan pandangannya. Aku tak bisa menjawab aku hanya diam.
Aku
menjalani hidup ini dengan darah yang setiap hari mengucur dari hidungku.
Ayahku sangat panik dengan hal ini, tapi aku menyakinkan kalau aku baik-baik
saja. “Ayah tenang saja ya. Anda baik aja kok. Mungkin ini kecapekan.” Aku
duduk disamping ayah yang sedang menatap pelangi di ujung langit. “Besuk kita
kerumah sakit saja. Sekedar periksa sayang.” Ayah menjawabku sambil mengelus
rambut hitam legamku. “Iya ayah” Jawabku singkat. “kamu masuk, udara dingin
bisa membuat kamu sakit.”
Keesokan paginya aku dan ayah
bergegas menuju rumah sakit. “Oom, aku boleh ikut mengantar teman kecilku?”
Seru fatah yang berlari mengikuti langkahku dan Ayah. “Fatah ya? Iya nggak
papa.” Ayah berhenti untuk menunggui Fatah. Tapi aku bingung, yang dimaksud
teman kecil itu. Dari dulu aku memikirkan ucapan Fatah dari mulai memanggilku
Nanda, dan sekarang teman kecilnya. Ayah menyetir mobil dan nenek di samping
ayah. Sedangkan aku duduk di samping Fatah yang sangat perhatian padaku.
Rimbunnya pohon pinus membuat hatiku nyaman. Aku seperti akan merasakan hal ini
terakhir kali. Fatah memandangku sambil tersenyum. “Kau ingat Nanta, teman
kecilmu dulu?” Pertanyaan Fatah membuat dadaku sesak, setetes air mata jatuh
dipipiku. Semakin deras air mataku. “Nanda, kamu menangis. Kenapa?” Fatah
merasa bersalah. Tapi aku diam, diam seribu bahasa. Tapi air mataku seakan
memberi jawaban pada Fatah. Dan Fatah diam. Aku dan Fatah hanya diam sampai di
rumah sakit. Kami berempat turun dan memasuki lobi rumah sakit. Tubuhku lemas,
darah kembali mengucur dari hidungku. “Ya allah, jika ini takdirku aku ikhlas
menerima. Tapi jangan buat Ayah, nenek bersedih. Juga jangan buat Fatah
menangis karena hal ini Ya allah. Mereka penting bagiku.” Itulah doa yang
selalu ku panjatkan ketika aku merasa rasa sakit ini tak kuat aku tanggung.
Dokter mendiagnosa kalau aku terkena penyakit ataksia stadium 4, penyakit yang
menyerang sum-sum tulang belakangku. Ayah keluar dari ruang dokter dengan
langkah gontai. Nenek yang duduk di samping meneteskan air mata. Fatah,
wajahnya pucat, dia hanya diam seribu bahasa. Kami semua belum pulang, masih
menunggu keputusan dokter. “saya izin ke musholla dulu” Fatah pergi
meninggalkan kami semua. Dia mengambil air wudhu, melaksanakan sholat ashar dan
memanjatkan doa. Tanpa sepengetahuan dia aku memasuki musholla. Air mata
mengucur dari mata hitamnya. “Ya allah, jangan ambil Nanda. Aku sayang dia, aku
juga belum menepati janji ketika kami kecil untuk selalu ada disampingnya,
menghapus air mata tetes air mata dari pipinya. Aku belum lakukan semua itu ya
Allah. Aku malah pergi meninggalkannya. Jangan sakiti dia dengan sakit ini ya
Allah. Aku mohon” Doa itu terdengar tulus dari Fatah. Air mataku menetes, terus
menetes. Fatah menoleh padaku karena mendengar isakanku. “nanda, kenapa kamu
menangis?” Fatah mendekatiku dan menghapus air mataku dengan lembut. Tapi air
mataku tetap jatuh. Fatah, dia teman kecilku. Teman yang dulu ada ketika aku
kecil, dan sekarang dia kembali. “Nanda, iya aku teman kecil kamu. Aku Nanta.
Maaf aku baru ngomong sekarang. Tapi aku janji mulai sekarang aku akan menjadi
tetes air hujan yang selalu membuatmu tersenyum” Fatah mengulurkan tangannya
untuk mengajakku kembali.
Kami
pulang, 1 minggu lagi aku disuruh datang untuk melakukan Check-up. 1 hari
berlalu setelah kejadian itu. Saat pulang dari sekolah aku melihat ayah duduk di
teras rumah memandang rintik air hujan. Ayah meneteskan air mata. Aku melangkah
untuk menyapa ayah, tapi wajahku pucat. Rasa sakitku tak kuat aku menahannya.
Aku pingsan. Ayah segera menggendongku masuk kedalam rumah. Saat aku tersadar,
ayah menyuruhku untuk minum obat dari dokter. Iya, aku meminumnya. “Ayah, besuk
aku mau izin pergi.” Pintaku pada ayah setelah minum obat. “Kemana sayang? Ayah
antar ya?” Ayahku bertanya heran. “Enggak usah Yah. Nanti lama kok. Boleh ya?”
Aku tersenyum menatap ayah. “Iya sayang, tapi cepat pulang ya? Aku mengelus
rambutku. “Maaf ayah.” Seruku dalam hati.
Keesokan
harinya, aku duduk diteras rumah setelash mengelap sepedaku. “Ayah, aku mau
pergi. Jaga nenek ya yah” Pamitku pada Ayah. Tapi Fatah datang. “Nanda, kamu
sakit mau kemana? Aku anter aja.” Aku memandang Fatah sambil tersenyum. “Iya,
nggak ngrepotin. Aku akan pergi lama Fatah.” Jawabku. “Maksudnya. Anter aku
dulu” Fatah menurut. Aku duduk dimotor Fatah, dan aku mengenakan jaket abu-abu
milik Fatah. Senang rasanya. “Stop. Kamu disini aja ya.”Aku meninggalkan Fatah
dengan tampang bingung.
Aku memasuki pelataran makam. “Bunda,
Nanda kangen banget sama Bunda. Bund, itu Nanta tapi sekarang Fatah. Iya, temen
kecilku dulu. Bunda inget kan?” belum selesai aku bicara Fatah memperhatikanku
dari belakang. “Nanda? Kamu nggak papa kan?” Fatah tampak khawatir. Aku tak
menjawab, aku meneruskan percakapannku dengan Bunda. “Bunda, boleh nggak Nanda
ikut bunda sekarang. Aku capek nglawan rasa sakit ini. Aku pengen sama Bunda.
Rasanya aku pengen nyudahin rasa sakit ini. Nggak papa ya?” Aku seakan
merasakan bunda tersenyum padaku. “beneran Bunda. Iya deh, Nanda nggak bakal
bikin Ayah sedih saat Nanda pergi. Bunda tenang aja.” Aku diam menatap Fatah
yang memperhatikanku. “Pulang yuk, nanti sakit kamu kambuh. Lagian udah mau
hujan.” Fatah mengajakku pulang. “Fat, aku boleh minta nggak?” Jawabku sambil
berjalan disamping Fatah. “Boleh, apa?” Suara Fatah. Ah, suara itu membuat
hatiku nyaman. “Aku ingin bersamamu dibawah tetes air hujan disaat terakhirku.
Mau kamu mengabulkan?” Pertanyaanku membuat Fatah meneteskan air mata. “Jika
aku bisa pasti kulakukan.” Jawab Fatah dengan suara melemah.
Hujanpun
turun membasahi tubuhku. Lagi-lagi darah itu mengucur dari hidungku. “Fatah,
mungkin ini saat terakhirku. Makasih kamu udah ada disampingku. Kamu jangan
sedih ya. Oh iya, aku titip sesuatu dilaci kamar buat ayah. Aku juga punya
sesuatu buat Kamu.” Aku terbaring dilengan Fatah. Air mata Fatah menetes
dipipiku. “Aku nggak sedih Nan, yang penting kamu udah nggak ngrasain rasa
sakit ini lagi. Nan, aku sayang kamu sampai kapanpun.” Aku pergi meninggalkan
dunia ini di samping Fatah. Ditemani tetes air hujan yang indah. Aku senang.
Aku bahagia bisa mengenal Ayah, nenek dan pastinya Fatah. Aku senang bisa di
samping bunda sekarang.
Setelah pemakaman....
Fatah memasuki kamarku dan mengambil
titipanku untuk ayah dan dirinya.
Untuk
Ayah...
Ayah,
mungkin Saat membaca surat ini ayah udah nggak bisa ketemu Nanda Lagi. Maaf ya
Yah. Nanda belum bisa banggain ayah, Nenek, Bunda. Nanda Cuma bisa nyusahin
aja. Maaf banget. Oh, iya Nanda punya puisi buat ayah...
Ayah, engkau
ada
Engkau ada
disaatku menangis
Disaat aku
merasakan sakit ini
Sakit yang
aku rasakan
Aku sedih
ayah,
Aku tak kuat
menahan sakit ini
Aku akan
pergi jauh ayah
Tapi, ayah
jangan sedih
Aku selalu
ada disamping ayah...
Lananda
Hanifah Taradibta sayang Ayah....
Fatah
memandangi kotak merah itu. Mengambil surat yang telah aku tulis. Dia membasahi
surat itu dengan air matanya.
Fatah,
kamu tak perlu menangis untukku. Simpen air matamu ya. Aku jadi inget saat kamu
masuk dikelasku dan akhirnya kita duduk sebangku terus aku juga inget saat kamu
makein jaket kamu. Aku masih nyimpen lho jaket itu. Coba lihat dilemariku. Maaf
ya, jaketmu kena air mataku. Hehee.... Oh iyaa, aku mau jujur kalau aku itu
sayang kamu. Tapi telat ya, mungkin aku udah nggak ada. Fatah, aku ngucapin
trima kasih, karena kamu mau jadi tetes air hujan dalam hidup. Aku bahagia
banget bisa kenal kamu. Makasih juga ya, kamu udah mau hapus air mataku. Kamu
mau janji buat aku nggak? Kamu jangan nangis buat aku, aku disini bahagia
banget. Tapi aku mohon kamu jangan lupain aku. Soalnya kamu itu penting banget
buat aku. Udah dulu ya...Tetep jadi tetes air hujan buat aku ya Fat. Aku sayang
kamu
Nanda
Ayah memandangi fatah
yang meneteskan air mata untukku. “Iya Oom, jujur saya sayang sama Nanda lebih
dari teman kecil.” Kata Fatah sambil memandangi foto kami berdua saat di
sekolah.
@@@ Tamat @@@